
Tiap kali bolak – balik buka sosial media, sering sekali topik tentang finansial berseliweran. Entah yang diposting oleh teman dekat, para CFP (Certified Financial Planner) yang saya follow, atau pun halaman khusus yang memang membahasa mengenai keuangan.
Menjadi sebuah pemicu tulisan ini setelah suatu hal terjadi pada orang yang cukup saya kenal.
Umpamakan saja namanya Ibu Kartini, seorang ibu rumah tangga bersuamikan aparat negara golongan menengah. Memiliki 3 orang anak; yang sulung sudah bekerja dan yang lain masih kuliah dan duduk di bangku SMA. Selama ini keluarga Ibu Kartini tinggal di rumah dinas pemerintahan dimana biaya listrik dan air ditanggung pemerintah. Penghasilan suaminya tidak besar, tapi bisa dibilang lebih untuk sekedar kebutuhan hidup sehari – hari.
Beberapa hari yang lalu saya dapat kabar kalau sekarang suaminya Ibu Kartini memutuskan untuk pensiun dini setelah menerima surat putusan mutasi ke luar Pulau Jawa. Dengan berakhirnya masa kerja, berakhir pula masa tinggal mereka di rumah dinas yang ditempati.
Sedihnya, selama lebih dari 20 tahun bekerja menjadi aparat negara mereka tidak pernah punya rumah pribadi. Pun mereka tidak punya tabungan simpanan apalagi asuransi. Sementara kedua anak mereka masih butuh biaya pendidikan. Mau tidak mau, Bu Kartini terpaksa membantu suaminya dengan membuka jasa cuci kiloan
Sebagai orang yang mengenal baik Ibu Kartini, satu hal yang menjadi masalah bagi keluarga mereka adalah GAYA HIDUP.
Demi menyenangkan hatinya Bu Kartini selalu terlihat stylist dengan outfit yang selalu up-to-date. Hobi berdandan nya pun membuatnya sering berbelanja high end brand makeup. Hampir sekali dalam seminggu pasti ia dan anak – anaknya jajan makanan hits lewat aplikasi online atau mampir ke mall. At the end, hal – hal yang dianggap ‘menyenangkan hati’ ini akan ditunjukkan lewat foto – foto di sosmed miliknya.
Kebiasaan ini pun menurut kepada anak – anaknya. Bahkan, anak – anaknya menuntut harus memiliki gadget phone terbaru yang diciptakan oleh almarhum Steve Jobs.
***
Cerita Ibu Kartini ini memang mungkin tidak bisa direlasikan dengan kehidupan saya terutama, tapi (semoga) bisa jadi pembelajaran untuk kita semua.
Di era yang serba mudah seperti saat ini walau banyak enaknya tapi juga membuat kita merasa tertantang. Enak karena mau makan, mau belanja, menabung, ataupun belajar untuk pengembangan diri pun bisa lewat online. Tantangannya hampir semua hal tersebut membutuhkan biaya dan kalau diikutin terus – menerus ya bisa boncos.
Sosial media juga bisa jadi kawan maupun lawan. Segala informasi yang penting sampai kacangan dibagikan disana, tapi kalau kita nggak pandai memilah – milih malah jadi racun buat diri sendiri atau kalau kata anak sekarang sih, toxic.
Dari kisah di atas ada beberapa hal yang bisa saya petik. Pertama, hidup seperti pepatah bersakit – sakit dahulu, bersenang – senang kemudian.
Tahun lalu, saya dan Adit ada di salah satu titik terendah kehidupan pernikahan kami. Adit sempat tiga bulan nggak punya pekerjaan tetap, saya lebih parah malah nggak ada job sama sekali. Setelah dapat pekerjaan pun gaji Adit harus dipotong setengahnya. Tuhan baik sekali, karena nggak lama saya pun dapat kerjaan tetap dan profesi utama sebagai freelance menjadi side hustle.
Semenjak itu saya merasa harus berubah. Buru – buru saya konsultasi ke seorang CFP dan belajar lebih banyak soal investasi. Belajarnya gratisan kok, sekarang sudah mudah menemukan webinar tentang keuangan.
Dana darurat saya simpan di RDPU, tabungan pendidikan di Tapenas. Sementara pasang target untuk Ammar masuk SD dulu. Asuransi kesehatan yang kami bayar saat ini untuk Ammar saja karena Adit masih bisa lewat kantor dan Asuransi saya sampai sekarang di auto debet dari Mami.
Sekarang semua pengeluaran ada pos dan limitnya sendiri; pengeluaran rumah tangga, kebutuhan masak, pengeluaran khusus Ammar seperti vaksin, dan tabungan jangka pendek untuk hal – hal darurat seperti servis mobil ke bengkel atau benerin genteng yang bocor. Biaya yang bersifat wajib seperti gaji ART, biaya internet bulanan, dan iuran kebersihan juga ada pos nya sendiri.
Pos untuk hiburan sekedar pesan makanan lewat GoFood atau untuk makan di mall juga ada tapi nggak banyak. Jadi sekarang nggak ada yang namanya lapar mata liat barang lucu terus kalap mata belanja – belanja.
Di awal – awal rasanya tersiksa karena biasanya kalau budgetnya habis bisa diambil sesuka hati dari tabungan. Sekarang mau jajan kopi susu aja mikirnya bisa ratusan kali hahaha.
Pelajaran kedua, yang mana juga selalu diamanatkan Papi saya adalah tidak berhutang dan sedekah itu wajib.
Sebisa mungkin menjauhkan diri dari yang namanya PayLater atau godaan kredit dengan embel – embel uang instan yang sekarang muncul di tiap aplikasi kendaraan maupun belanja online. Emang sih, bisa pasang nominal sekecil mungkin. Tapi yang namanya hutang tetaplah beban dan memiliki bunga. Males banget nggak, sih kalau pas gajian malah mikirin tanggungan?
Terakhir, gaya hidup harus sesuai penghasilan.
Belajar dari Mbak Andra Alodita, saya dan Adit punya jatah bulanan yang nilainya nggak lebih dari dua juta rupiah. Dana ini sudah termasuk uang bensin kendaraan untuk bolak – balik ke tempat kerja, kuota internet, dan buat saya tentunya budget skincare. Sekarang kalau punya skincare harus dihabiskan dulu yang lama sebelum membeli yang baru. Sebuah langkah yang juga menghindari skincare lama yang terbuang dan akhirnya jadi mubazir.
Dengan budget bulanan ini juga bikin saya bersyukur dan selalu merasa cukup dengan yang saya punya. Pakaian dan aksesoris yang ada bisa di mix and match tanpa harus selalu beli baru. Liat orang lain muncul dengan foto – foto liburan di luar kota pun nggak bikin saya jadi iri, tapi malah memotivasi untuk nabung lebih banyak supaya di waktu yang tepat juga bisa liburan tanpa harus pusing dengan pos tabungan yang masih harus diisi.
Target Setelah Disiplin Finansial
Harapan saya tentunya dalam jangka waktu beberapa tahun ke depan dana darurat yang kami miliki sudah ideal dan setidaknya dana pensiun sedikit demi sedikit sudah terkumpul.
Oh ya, dana pendidikan pastinya nggak lupa. Niat saya memang bukan menempatkan Ammar di sekolah hits dan mahal di Jakarta, tapi tentu sekolah yang baik dan memantau tumbuh kembangnya secara optimal. Tapi, memilih sekolah kan nggak bisa terpaku ke satu atau dua pilihan aja. Maka dari itu harapan lainnya juga dana pendidikan setidaknya sudah ada untuk jenjang tertentu.
Selain itu, saya dan Adit berencana menambah asuransi kesehatan berbayar untuk kami berdua. Nggak muluk – muluk, berdasarkan ilmu dari Shinta Michiko, salah satu CFP hits di Instagram setidaknya tiap orang punya Asuransi berbayar dari BPJS karena harganya terjangkau.
Walaupun kami tetap berdoa semoga kami sekeluarga sehat selalu sehingga nggak memerlukan perawatan kesehatan intensif di rumah sakit.
Dengan adanya contoh kasus yang ada, semoga bisa membuat kita sadar untuk melek finansial. Bukan hanya buat kita sendiri loh, tapi disiplin seperti ini supaya nantinya nggak membebani anak – anak kita dan menjadikan mereka sandwich generation.
Semoga cerita dan sharing ini bisa jadi pelajaran untuk teman – teman semua. Kalau ada tips untuk mendapatkan kebebasan finansial, yuk boleh di share!
Picture courtesy by Unsplash
Reblogged this on Catatan Arnendo.
LikeLike